Chapter 06 – Flag Raised
Waktu pagi di hari ketiga sejak
sekolahku dimulai.
Aku sedang makan sepotong roti panggang
dan meminum secangkir kopi untuk sarapan sembari menonton acara TV yang berada tepat
dihadapanku.
“Pagi ini, kami mendapatkan informasi
bahwa Organisasi Teroris Internasional telah berhasil menyusup dan bersembunyi
di Jepang—”
Reporter berita itu menyiarkankan
tentang sebuah organisasi teroris yang berhasil menyusup dan bersembunyi di
negara ini. Sembari mencoba melawan rasa kantukku, aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak tertidur.
“Berita yang menggelisahkan…. Hati – hati,
Yato.”
Ibuku mengkhawatirkanku; ekspresinya
dipenuhi kegelisahan.
“Hmm…”
Refleks aku menguap, sebenarnya aku tak
mendengarkan pernyataan ibuku. Pada dasarnya aku masih belum sepenuhnya bangun,
oleh karena itu, aku memutuskan fokus meminum kopiku. Hanya karena organisasi
teroris bersembunyi di Jepang, itu bukan berarti kalau mereka akan muncul di
hadapanku. Aku tak perlu memikirkan alasan mengkhawatirkannya.
“Kalau begitu, aku berangkat.”
“Aku juga.”
“Kalian berdua, hati – hati!”
Selesai berpamitan dengan ibu kami,
Karen dan aku berjalan menuju jalan sekolah kami masing – masing. Dengan
secangkir kopi dan sinar matahari yang menyilaukan telah berhasil mengusir rasa
kantukku, dan aku akhirnya bisa berpikir dengan benar. Saat itulah aku mulai
memikirkan tentang organisasi teroris itu.
Jika aku adalah seorang protagonis
sebuah light novel, aku yakin kalau sekolahku akan jadi target mereka, tapi
semenjak ini adalah kenyataan, hal seperti itu tak akan terjadi. Tak mungkin
ada kejadian tak wajar seperti itu. Dari ribuan sekolah yang tak terhitung
jumlahnya, kecil kemungkinan bagi sekolah kami dipilih.
“Aku
akan ke arah sini.”
Ucapan Karen, membawa pikiranku kembali
ke kenyataan.
“Hm? Ah, aku mengerti. Sampai jumpa.”
Sejauh yang ku pikirkan, tak ada
gunanya memikirkannya terlalu banyak.
Sejauh yang ku pikirkan, tak ada
gunanya memikirkannya terlalu banyak.
Dan dengan hal itu ada didalam
pikiranku, aku bergegas menuju ke sekolahku.
ーーーーーーーーーーーーー
Aku mememasuki kelasku dan mendapati
separuh dari siswa dikelasku tengah bergosip. Semua orang sudah membuat dan
bergabung dalam kelompok, jadi tak ada seorangpun diantara mereka yang
berbicara padaku.
“Ah, Kamiya-kun, selamat pagi.”
“Selamat pagi, Kamaishi-san.”
Tepat ketika aku mengambil tempat
dudukku, Kamaishi yang duduk didepanku membalikkan badannya dan menyapaku. Dia
merupakan satu – satunya di kelas ini yang mau berbicara padaku. Aku bertanya –
tanya, apakah dia sudah berteman dengan yang lainnya.
“Kamiya-kun,
apa hari ini kau mendengar berita?”
“Ya, tentang organisasi teroris itu,
‘kan?
“Mhm. Mereka sudah berada di Jepang.
Aku ingin tahu dimana mereka bersembunyi.”
“Siapa tau? Mungkin saja mereka berada
didekatmu, tanpa kau sadari.”
“Eh? B-Berhenti mengatakan hal – hal
yang menakutkan seperti itu!”
Aku terkekeh melihat kamaishi melompat
seperti itu, dan menambahkannya… sepertinya wajahnya menunjukkan ekspresi malu.
“Um, hei, Yato, jika kau tak keberatan,
bisakah kita makan siang bersama hari ini?
“Hm? Makan siang…. Tentu saja.”
“Ya, tentu, kau tak akan…? Tunggu. Ya!?
Kamaisi melompat keluar dari kursinya
dan berlari kearahku. Dia menatap mataku, dan aku bisa merasakan nafasnya
melalui kulitku. Dia terlalu dekat.
“Y-Ya, tentu saja.”
“Aku lega, aku membuat terlalu banyak
makanan untuk aku makan sendirian, jadi aku sedikit khawatir kalau kau akan
menolaknya.”
Jadi itulah alasan kenapa dia
mengajakku. Aku bersyukur punya kesempatan untuk mengambil kotak makan
siangnya, namun pada saat yang sama, sebuah pertanyan muncul dibenakku.
“Kamaishi, apa kau sudah mendapatkan
teman?”
“Eh?”
“Tidak, aku berpikir kau memiliki
beberapa teman, akan lebih baik jika kau mengajak mereka daripada mengajaku,
‘kan?”
“Hee…a… i-itu karena… um~ aku… aku
masih belum mendapatkan teman…”
“Itu, sangat disayangkan.”
Kurasa aku baru saja menginjak ranjau
saat aku menayakan hal itu kepadanya. Saat ketika dia menjawabnya, tiba – tiba
suaranya berangsur – angsur menipis
sembari menujukkan ekspresi muram. Aku merasa bersalah menanyakan hal
itu. Tapi bukankah dia seharusnya berusaha untuk mendapatkan seorang teman,
meskipun sebenarnya itu bukan urusanku menanyakannya, lalu bel pun berbunyi.
Sudah waktunya memulai pelajaran, dan
kami akhirnya mengakhiri momen cangung ini. Seperti biasa, aku tidur sepanjang
waktu. Ada beberapa momen dimana sensei membangunkanku, tapi aku lansung
membuatnya terdiam hanya dengan satu atau dua jawaban yang sempurna. Lalu siang
pun datang.
Ketika lonceng keempat berdentang, aku
terbangun, menguap dengan keras.
“Aku terkesan kalau kau bisa tidur
setiap saat. Apa kau tak tidur saat malam?”
Tampaknya semua orang sudah terbiasa
dengan prilaku yang kumiliki, dan juga Kamaishi tak memarahiku lagi karena kebiasaan
tidurku.
“Tentu saja aku tidur saat malam,
meskipun itu belum cukup.”
“Aku juga heran, kenapa tubuhmu perlu
banyak tidur.”
“Sejujurnya, aku tak tahu. Aku masih
merasa mengantuk, tak peduli seberapa lama aku tidur, kira-kira kenapa ya? ...Bagaimanapun
juga, ayo cepat pergi; kita tak punya banyak waktu.”
“B-Baik. Tunggu aku.”
Kamaishi terburu – buru mengikutiku ke
atap, tentu saja, itu untuk menikmati makan siang bersama.
ーーーーーーーーーーーーーー
Sesampainya di atap kami langsung duduk
di bangku yang kami gunakan kemarin. Lalu Kamaishi mengeluarkan salah satu dari
dua kotak makan siang yang dibawanya.
“Ini, Kamiya-kun.”
“Terima kasih, Kamaishi-san.”
Tanpa basa – basi lagi aku langsung
membuka kotak makan siangnya, dan mendapati makanan rumah yang keliatannya
enak. Hidangan utamanya kroket dan tamagoyaki, dan di sampingnya ada soisis, ceri,
tomat, dan salad kentang. Semuanya sangat cocok untuk membangkitkan selera
makan. Selain itu nasinya tak dibuat dengan cara sederhana, tetapi dimasak dengan
yang lainnya. Benar – benar membangkitkan selera makanku.
“Kelihatannya enak.”
“Hehe.. tadi aku terlalu bersemangat
membuatnya, jadinya aku berakhir membuat kebanyakan.”
“Terlalu bersemangat? Apa terjadi
sesuatu yang baik?
“Eh? Unn, tak usah khawatir. Ayolah
sekarang, makanlah sebelum terlambat.”
“Kalau begitu, mari kita mencobanya.”
Aku berterima kasih padanya sembari
mengambil sepasang sumpit, lalu kemudian aku mengambil nasi dengan jumlah yang
pas dan mulai memakannya.
“Bagaimana rasanya?”
“Mhm mhm… hm, seperti yang diharapkan,
ini enak.”
“Benarkan!? Syukurlah.”
Kamaishi menghela nafas, memegangi
dadanya sedikit, dan menujukkan ekspresi lega. Itu benar - benar bagus.
Melihat seleraku dan pengalamanku
mencicipi masakan ibuku selama bertahun – tahun, tak terlalu sulit bagiku untuk
menjamin rasanya. Seharusnya dia tak perlu gelisah dalam hal ini. Pada akhirnya
aku menghabiskan kotak makan siang Kamaishi.
“Makasih untuk makanannya, Kamaishi.
Ini benar-benar enak.”
“Fufu, senang mendengarnya.”
Aku menghargai masakannya, sambil
menjilati bibirku. Saat aku mengembalikan kotak kosong itu, kamishi terlihat
senang. Baiklah sekarang…ayo kita liat yang berikutnya. Kali ini, aku
mengeluarkan kotak makan siangku.
“Tunggu… apakah kau masih mau makan
lagi?”
“Ya, aku tak bisa membiarkannya tak tersentuh.”
Sebenarnya aku sudah kenyang, tapi aku
tak bisa membiarkan yang satu ini utuh. Ibuku lumayan ketat dalam hal makanan.
Apa yang akan dipikirkannya jika tahu aku tak memakannya? Dia adalah seorang
peneliti masakan. Itu berarti masakannya ahli dan lezat, namun, bagaimanapun
juga, dia merupkan tipe yang sangat keras jika mengenai menyisakan sesuatu
dipiringmu.
Ibuku tak terlalu suka marah, tapi
begitu dia melakukannya, itu adalah hal yang benar – benar menakutkan. Aku
masih ingat ketika diriku pernah menyisakan beberapa makanan di piringku. Ya…
pada akhirnya aku mengalami pengalaman buruk. Itu sebabnya aku tak boleh
membiarkan kotak makan siang ini begitu saja. Lain kali, tak akan ada hari esok
untukku.
“Apakah aku melakuakan sesuatu yang tak
perlu?”
“Tidak, jangan khawatir tentang ini.
Sejak awal itu memang pilihanku sendiri.”
Dengan kata terakhir itu, aku mulai
makan sekali lagi. Ini sangat enak. Bagaimanapun juga, tak peduli seberapa
lezatnya ini, itu tak mengubah fakta kalau aku sudah kenyang. Perutku tak kuat
lagi menerima lebih banyak lagi mengakibatkan tangan yang memegang sumpitku
berhenti.
“Apa tak masalah jika aku memakannya
bersamamu?”
Kamaishi menawariku bantuan.
“Apa kau tak masalah dengan itu?”
“Ya, ini salahku, selain itu aku ingin
mencoba lagi masakan ibumu.”
Sejujurnya, aku menghargai tawarannya
itu. Aku rasa mustahil untukku menghabiskan semuanya sendirian.
“Baiklah, kalau begitu tolong.”
“Ya, serahkan padaku.”
“Ini, ambilah sedikit.”
Aku mengambil salah satu lauk
menggunakan sumpitku dan mengarahkannya ke mulut Kamaishi.
“Eh? B-Bukankah ini…”
Mungkin karena dia mengerti sesuatu, Kamaishi
menghentikan gerakannya dan mengalihkan pandangannya antara aku dan sumpit
secara bergantian. Ekspresi malu tampak terlihat diwajahnya.
Jangan bilang padaku, kalau dia sudah
menyadari kalau itu akan jadi sebuah ciuman tidak langsung? Meskipun dia tak
menyadari apapun kemarin, tapi kenapa harus sekarang? Sungguh merepotkan;
kurasa aku akan sedikit memaksanya untuk memakannya.
“Apa ada yang salah? Ayolah, cepat.”
“Eh, Aa, ya.”
Kamaishi membulatkan tekad dan membuka
mulutnya meskipun wajahnya memerah. Baiklah, mari kita lanjutkan cara ini.
“Ini. Sekali lagi.”
“Y-Ya.”
Kamaishi, dengan wajah memerahnya, bertingkah
olah – olah tak menyadari kenyataan itu ketika dia kembali memakan bekal makan
siangku.
Entah bagaimana aku berhasil memakan
beberapa, hingga kami bisa menghabiskan semuanya. Sewaktu aku makan tadi,
Kamaishi terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi tetap terdiam ketika wajahnya semakin memerah. Tentu saja,
aku berpura – pura tak melihatnya.
Saat aku mengambil nafas panjang setelah
selesai makan siang, Kamaishi yang duduk disebelahku merasa sangat gugup.
“Uuu, siapa sangka kita akan
melakukannya lagi hari ini…”
“Yah, kupikir itu sangat memalukan
melakukan sesuatu yang seperti itu.”
“Tentu saja itu… tunggu, Kamiya-kun,
kau tahu tentang itu?”
“Yah, maksudku…”
Sebenarnya, tak mungkin bagiku tak
mengerti tentang hal yang jelas terlihat seperti itu.
“Karena kau tak menyadarinya kemarin,
aku pikir itu akan baik – baik saja untuk melakukannya lagi hari ini, tapi
rupanya, perkiraanku salah.”
“Siapapun akan menyadari itu hal biasa!”
“Kemarin kau tidak.”
“I-Itu karena… uuu, kau menggodaku.”
Kamaishi hampir meneteskan air mata
karena malu. Dia tampak lucu sekali, namun, aku tak ingin mengacaukan suasana
dengan mengatakannya. Saat itulah aku berpaling darinya, dan mataku menangkap
sesuatu. Berputar, aku melihat beberapa mobil hitam masuk dari pintu masuk
sekolah.
“Apa itu?
“Apa ada yang salah?
Mendengar gumamanku, Kamaishi mengikuti
pandanganku berbalik dan melihat kearah yang sama. Sebuah kelompok bersenjata
mengenakan topeng keluar dari dalam
mobil dan bergegas masuk ke gedung sekolah. Gerakan mereka cepat dan tangkas
menyerupai tentara yang terlatih.
Tunggu, tunggu, jangan bilang…
PAAM!!
KYAAH!!
Tepat ketika aku punya firasat buruk
tentang keadan saat ini, aku mendengar suara tembakan dan jeritan yang datang
dari bawah. setelah suara tembakan, aku mendengar sesuatu yang mirip dengan
suara seorang yang marah. Aku teringat berita pagi ini.
Kau pasti bercanda…. Teroris?
Memahami situasinya, aku menyesali
pikiran yang kumiliki saat menujuke ke sekolah. Serius kata – kataku sekarang
menjadi kenyataan!
« Sebelumnya | List Chapter |
Selanjutnya »
😱😱😱😱😱
BalasHapus